Jumat, 20 Juni 2014

Chentini 3



Centhini 3
Malam Ketika Hujan
Oleh: Siti Nurdiana – 105200042
(Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Universitas PGRI Adi Buana Surabaya)


 centhini 3_20120504130957.jpg
Judul buku                  : Centhini 3 (Malam      Ketika Hujan)
Penulis                         : Gangsar R. Hayuaji
Editor                          : Abdul Azis Sukarno
Tata Sampul                : Gobaqsodor
Tata Isi                        : S. Lestari
Pracetak                      : Antini, Dwi, Yanto
Cetakan Pertama         :April 2011
Penerbit                      : DIVA Press (Anggota IKAPI)



Chentini 3 (Malam Ketika Hujan) diceritakan berdasarkan Serat Centhini (kitab kraton klasik) yang sebelumnya pernah tercipta novel Chentini 2 (Perjalanan Cinta) yang mengisahkan tentang pengembaraan Syekh Amongraga. Namun, pada Chentini 3 (Malam Ketika Hujan) ini mengisahkan pengembaran Cebolang anak dari Syekh Akadiat bersama keempat kawannya yang bernama Palakarti, Kartipala, Saloka, dan Nurwiti. Pengembaraan panjang Cebolang itu dalam upaya mencari pengetahuan dan makna kesejatian kehidupan.
Pengembaraan itu dimulai dari Padepokan Sokayasa, Makam Dukuh, Gunung Lawet, Pancuran Surawana, Bendungan Pancasan, Arjabinangun, Goa Limusbuntu, Goa Selapethak, Segara Anakan, Karang Bolong, Ujung Ulang Gunung Cewiring, Jumprit, Gunung Sindara, Gunung Margawati, Gunung Sumbing, Sendang Bedhaya, Mata Air Pikaton, Ambarawa, Gunung Jambu, Gunung Tidar, Candi Borobudur, Candi Mendhut, Tlatah Mataram, Desa Kepurun, Candi Prambanan, Candi Sewu, Desa Kajoran, Desa Tembayat, Masjid Lawoyan, Tepian Sungai Dengkeng, Makam Ki Buyut Banyu Biru, Sendang Banyu Biru, Makam Ki Ageng Banjarsari, Sendang Selakapa, Sendang Purusa, Sendang Tirtamaya di Desa Teleng, Desa Girimarta, Wonogiri, Pesisir Laut Selatan, Desa Karang, Ponorogo, Desa Salaung, Asrama Majenang, Gunung Wilis, Wirasaba, dan berakhir di Goa Sigala.

Penceritaan dalam novel ini menggunakan alur mundur, yaitu menceritakan ingatan Cebolang saat melakukan pengembaraan untuk menacari ilmu pengetahuan dan filsafat jawa serta makna kehidupan bersama Palakarti, Kartipala, Saloka, dan Nurwiti. Ingatan itu tiba-tiba dating dikala ia sedang melakukan semadi (berdzikir) setelah melakukan saresmi dengan istrinya yang bernama Niken Rancangkapti.
Novel yang terlahir dari Gangsar R. Hayuaji ini memapaparkan secara bebas penggambaran proses saresmi (hubungan seksual). Banyak perempuan yang melakukan adegan saresmi dengan Cebolang. Yaitu Nyi Ranada Kasepen, Nyai Padmasastra, Nyai Sriyatna, dan Seorang sinden. Yang dibuktikan pada sampul novel itu sendiri:

Daratan sudah tampak  di depan mata, Sayang. Bukakan lebar-lebar lubang bumimu! Akan aku tuang air Cupu Manik Astagina dari pusar langit. Sebagaimana hujan yang tumpah tiba-tiba di luar.” (Dikutip dari sampul Chentini 3-Malam Ketika Hujan)

Dalam novel ini tidak hanya mengungkapkan unsur seksualitas saja. Melainkan juga mengungkapkan kebudayaan Jawa kuno dengan kekayaan ilmu pengetahuan, sejarah, aspek-aspek filsafatnya. Beragam ajaran tentang beberapa kawruh Jawa dan beragam ilmu pengetahuan islam didapat Cebolang dari para Kyai dan tetua (pinisepuh) disepanjang pengembaraannya. Para Kyai itu adalah Ki Ajar Naraddhi, Ki Gupita, Kyai Lesshdaswaninda, Syekh Wakhadiat, Ki Amongtrustho, Ki Anom, Ki Bawaraga, Nyai Patmasastra, Nyai Sriyatna, Ki Harjana, Ki Amar Setama, Ki Wirengsuwigna, Kyai Sembaga, Ki Taha, Ki Cendhani Laras, Ki Ajar Kepurun, Lurah Harsana, Ki Ngabul Martaka, Panembahan Rama, Ki Wreksadikara, Ki Ngabdul Atyanta, Ki Sali, Ki Kyai Haji Nurgirindra, Brahmana Sidi, Ki Nursubdya.
Para Kyai dan tetua atau pinisepuh itu memberikan beragam ilmu tentang jawa kuno antara lain tentang Pupuh sinom dalam Serat Panji Narawangsa dan dalam Serat Sabdo Palon, tembang jaranan, lagu dolanan jawa, kisah kembang Wijayakusuma, kisah Candi Borobudur, kisah Panembahan Senopati, Seni karawitan beserta ilmu gamelan, macam-macam keris, pewayangan, ilmu membatik, ilmu tentang dukun manten (rias manten), tentang serat-serat jawa (pupuh sinom atau tembang sinom), ilmu tentang berbagai macam bentuk rumah orang jawa, kisah jaka tingkir, dan juga kisah pertemuan Nyi Roro Kidul dengan Sultan Agung.
Selain itu, kita juga dapat mengetahui kisah dibalik Cebolang yang berlatarbelakang anak Kyai dan juga dianggap sebagai lelaki perkasa, namun ia tidak lebih dari lelaki hidung belang yang mudah terpengaruh kemolekan tubuh perempuan.
Banyak pelajaran yang dapat diperoleh pembaca pada novel ini. Mulai dari pengetahuan adat jawa kuno, ajaran Agama Islam zaman dahulu, makna kesejatian dalm kehidupan dan laian-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar