Centhini 3
Malam
Ketika Hujan
Oleh: Siti
Nurdiana – 105200042
(Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - Universitas PGRI Adi Buana
Surabaya)
Judul
buku : Centhini 3 (Malam Ketika
Hujan)
Penulis : Gangsar R. Hayuaji
Editor : Abdul Azis Sukarno
Tata Sampul : Gobaqsodor
Tata Isi : S. Lestari
Pracetak : Antini, Dwi, Yanto
Cetakan Pertama :April 2011
Penerbit : DIVA Press (Anggota
IKAPI)
Chentini 3 (Malam Ketika Hujan) diceritakan berdasarkan Serat Centhini (kitab kraton klasik)
yang sebelumnya pernah tercipta novel Chentini
2 (Perjalanan Cinta) yang mengisahkan tentang pengembaraan Syekh Amongraga.
Namun, pada Chentini 3 (Malam Ketika
Hujan) ini mengisahkan pengembaran Cebolang anak dari Syekh Akadiat bersama
keempat kawannya yang bernama Palakarti, Kartipala, Saloka, dan Nurwiti.
Pengembaraan panjang Cebolang itu dalam upaya mencari pengetahuan dan makna
kesejatian kehidupan.
Pengembaraan
itu dimulai dari Padepokan Sokayasa, Makam Dukuh, Gunung Lawet, Pancuran
Surawana, Bendungan Pancasan, Arjabinangun, Goa Limusbuntu, Goa Selapethak,
Segara Anakan, Karang Bolong, Ujung Ulang Gunung Cewiring, Jumprit, Gunung
Sindara, Gunung Margawati, Gunung Sumbing, Sendang Bedhaya, Mata Air Pikaton,
Ambarawa, Gunung Jambu, Gunung Tidar, Candi Borobudur, Candi Mendhut, Tlatah
Mataram, Desa Kepurun, Candi Prambanan, Candi Sewu, Desa Kajoran, Desa
Tembayat, Masjid Lawoyan, Tepian Sungai Dengkeng, Makam Ki Buyut Banyu Biru,
Sendang Banyu Biru, Makam Ki Ageng Banjarsari, Sendang Selakapa, Sendang
Purusa, Sendang Tirtamaya di Desa Teleng, Desa Girimarta, Wonogiri, Pesisir
Laut Selatan, Desa Karang, Ponorogo, Desa Salaung, Asrama Majenang, Gunung
Wilis, Wirasaba, dan berakhir di Goa Sigala.
Penceritaan dalam novel ini menggunakan
alur mundur, yaitu menceritakan ingatan Cebolang saat melakukan pengembaraan
untuk menacari ilmu pengetahuan dan filsafat jawa serta makna kehidupan bersama
Palakarti, Kartipala, Saloka, dan Nurwiti. Ingatan itu tiba-tiba dating dikala
ia sedang melakukan semadi (berdzikir) setelah melakukan saresmi dengan istrinya yang bernama Niken Rancangkapti.
Novel
yang terlahir dari Gangsar R. Hayuaji ini memapaparkan secara bebas
penggambaran proses saresmi (hubungan seksual). Banyak perempuan yang melakukan adegan saresmi
dengan Cebolang. Yaitu Nyi Ranada Kasepen, Nyai Padmasastra, Nyai Sriyatna,
dan Seorang sinden. Yang dibuktikan pada sampul novel itu sendiri:
“Daratan
sudah tampak di depan mata, Sayang. Bukakan lebar-lebar lubang bumimu!
Akan aku tuang air Cupu Manik Astagina dari pusar langit. Sebagaimana hujan
yang tumpah tiba-tiba di luar.” (Dikutip
dari sampul Chentini 3-Malam
Ketika Hujan)
Dalam novel ini tidak hanya
mengungkapkan unsur seksualitas saja. Melainkan juga mengungkapkan kebudayaan
Jawa kuno dengan kekayaan ilmu pengetahuan, sejarah, aspek-aspek filsafatnya.
Beragam ajaran tentang beberapa kawruh
Jawa dan beragam ilmu pengetahuan islam didapat Cebolang dari para Kyai dan
tetua (pinisepuh) disepanjang pengembaraannya. Para Kyai itu adalah Ki Ajar
Naraddhi, Ki Gupita, Kyai Lesshdaswaninda, Syekh Wakhadiat, Ki Amongtrustho, Ki
Anom, Ki Bawaraga, Nyai Patmasastra, Nyai Sriyatna, Ki Harjana, Ki Amar Setama,
Ki Wirengsuwigna, Kyai Sembaga, Ki Taha, Ki Cendhani Laras, Ki Ajar Kepurun,
Lurah Harsana, Ki Ngabul Martaka, Panembahan Rama, Ki Wreksadikara, Ki Ngabdul
Atyanta, Ki Sali, Ki Kyai Haji Nurgirindra, Brahmana Sidi, Ki Nursubdya.
Para Kyai dan tetua atau pinisepuh itu
memberikan beragam ilmu tentang jawa kuno antara lain tentang Pupuh sinom dalam
Serat Panji Narawangsa dan dalam Serat Sabdo Palon, tembang jaranan, lagu
dolanan jawa, kisah kembang Wijayakusuma, kisah Candi Borobudur, kisah
Panembahan Senopati, Seni karawitan beserta ilmu gamelan, macam-macam keris,
pewayangan, ilmu membatik, ilmu tentang dukun manten (rias manten), tentang
serat-serat jawa (pupuh sinom atau tembang sinom), ilmu tentang berbagai macam
bentuk rumah orang jawa, kisah jaka tingkir, dan juga kisah pertemuan Nyi Roro
Kidul dengan Sultan Agung.
Selain itu, kita juga dapat mengetahui
kisah dibalik Cebolang yang berlatarbelakang anak Kyai dan juga dianggap
sebagai lelaki perkasa, namun ia tidak lebih dari lelaki hidung belang yang
mudah terpengaruh kemolekan tubuh perempuan.
Banyak pelajaran yang dapat diperoleh
pembaca pada novel ini. Mulai dari pengetahuan adat jawa kuno, ajaran Agama
Islam zaman dahulu, makna kesejatian dalm kehidupan dan laian-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar